21 Jan 2019

Pemberdayaan Pegawai, SOP dan Pembangunan Budaya Birokrasi

  • Written by  Wahyudi Iswar (Alumni Ilmu Pemerintahan Unhas)
  • Print
  • Email

Ratusan tahun silam masyarakat mulai bertransformasi oleh pengaruh perkembangan industri. Modernisasi lalu menjadi paling dominan dalam merekontruksi sosial. Modernisasi dengan universalitas dan rasionalitasnya yang membuka ruang bagi sentralisasi, memuluskan lahirnya berbagai aturan  yang dinilai dapat dan cocok diberlakukan dimana dan kapan pun. Universalitas ini juga hinggap ke birokrasi, melahirkan konsep birokrasi berciri rasional dan hierarkis yang mencerminkan suatu usaha untuk mengkoordinasikan tindakan individu. Dengan tipe birokrasi weberian yang menggantikan model patronase, birokrasi lalu tampil superior, sebagai yang mampu mewujudkan efektif dan efesiensi yang paling tinggi.

Perkembangan dan dinamika sosial akhirnya menuntut bukan hanya ekonomi, efektif dan efesien yang harus ada di birokrasi. Aksiologi berupa keadilan, akuntabel dan lain lain diharapkan pula terwujudkan. Sejajar dengan ini perkembangan aksiologi ini, perjalanan evolusi birokrasi dilukiskan oleh pakar dengan model tahap: patronase, weberian, NPM (New Publik Manajemen) dan terakhir NPServis.

 Di Indonesia, sejarah birokrasi tak lepas dari peran sebagai mesin politik rezim penguasa. Selain itu, birokrasi dalam memenuhi tugasnya mendistribusikan pelayanan pada akhirnya tak luput juga dari penilaian sebagai semacam kerajaan para pejabat (oficialdom). Birokrasi lebih dianggap lebih sebagai saluran mewujudkan keinginan atau nafsu kerajaan.  Birokrasi di negara manapun tak lepas dari perjalanan oficialdom. Yang membedakan antara negara maju dan yang lain adalah soal waktu. Negara maju tentu lebih dulu ratusan tahun dibanding negara berkembang. Selain waktu juga ada pengaruh subyektifitas konteks atau kekhasan dinamika di masingmasing wilayah.

Birokrasi berevolusi oleh respon perkembangan ekonomi, politik dan sosial masyarakat seperti revolusi industri, krisis ekonomi dan perkembangan telekomunikasi dan informasi. Krisis ekonomi di Indonesia akhir tahun 90-an yang meluas meluas sampai krisis politik dan sosial menjadi pintu gerakan reformasi termasuk reformasi birokrasi.

 

PEMBERDAYAAN PEGAWAI

Ciri dari birokrasi rasional modern adalah kenyataan bahwa tindakan individu secara formal dikontrol, ditentukan, dan diatur. Setiap orang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi. Hubungan struktural yang bersifat otoritatif, masing-masing yang terlibat dalam pola hubungan tersebut, terikat pada pembagian kewenangan formal.Mereka bekerja dalam tatanan hierarki. Termasuk dalam hal pemberdayaan eksternal (publik) dan internal. Yang lebih populer tentu saja pemberdayaan publik. Meski demikian, pemberdayaan internal organisasi juga tak kalah pentingnya. Secara sederhana, birokrasi disebut memberdayakan jika ada pengoptimalan, perubahan atau peningkatan kinerja pegawai. Usaha untuk mengubah pegawai yang pada awalnya tak berdaya menjadi berdaya, tak berkinerja menjadi berkinerja atau berkinerja lebih tinggi. Pokok-e, ada hal yang meningk Selain perubahan atau peningkatan, satu unsur lagi yang diperlukan untuk pemberdayaan adalah keterlibatan semua pegawai. Ketika yang berubah dan meningkat hanya sebagian sedangkan pegawai lainnya hidup dengan dunianya sendiri, maka dalam organisasi tersebut belum bisa dikatakan sebagai organisasi yang memberdayakan pegawainya.

Ada banyak referensi yang membahas konsep dan teori terkait pemberdayaan pegawai. Ada beragam pula model dan pendekatan dalam manajemen pemberdayaan SDM. Namun ruang ini hanya mencoba menyentuh pemberdayaan dari segi tidak berkembangnya potensi SDM yang dimiliki oleh karna variabel lingkungan kerja. Lingkungan yang dimaksud memuat dimensi hubungan kerja antara atasan-bawahan, bawahan-bawahan dan teamwork. Dengan struktur dan fungsi kewenangan yang sudah ditentukan, untuk mengurangi --- jika tidak menghilangkan, pengaruh kepentingan dan ambisi pribadi terhadap pelaksanaan pekerjaan kantor. Dan para pegawai dapat berkonsentrasi pada aspek teknis pekerjaannya masing-masing sebagaimana yang diatur dalam tugas pokok dan fungsi jabatannya.

Namun faktanya, sejumlah faktor lain yang juga dapat menentukan bagaimana mekanisme dan hubungan kerja terjalin.  Inilah yang sering menjadi salah satu  potensi ruang tembak kritik terhadap birokrasi. Yakni, pada masih melekatnya frame pendekatan kekuasaan dalam hal siapa dan bagaimana kewenangan dan tanggungjawab dilaksanakan. Yang menjadi pemicu tak berjalannya pekerjaan sesuai prosedural yang seharusnya. Hubungan kerja di tipe weber maupun NPM masih tetap dapat (potensi) terwarnai oleh karakter frame ini. Di beberapa daerah di luar Pemprov Sulbar, seperti yang ditulis di sejumlah artikel, pemberdayaan pegawai tak terwujudkan antara lain karena: pertimbangan dan tuntutan, pimpinan terkadang memilih bawahan yang dinilai lebih mampu bekerja ketimbang memperhatikan struktur jabatan dan peran. Terkadang pula mekanisme kerja dilandasi faktor kesamaan latarbelakang personal, pertimbangan suka tidak suka dan faktor kepercayaan. Faktor kepercayaan yang dipilih oleh adanya keinginan informasi tertentu yang diinginkan tak diketahui luas.

Di organisasi privat, kekecewaan karyawan kadang berujung dengan keputusan keluar dari organisasi atau yang biasa disebut fenomena turnover. Di birokrasi, pegawai yang tidak terberdayakan mungkin tidak  sampai keluar atau berhenti. Tapi paling jauh menjadi acuh tak acuh dengan tugas, lalu aktif dan menyibukkan diri dengan  kenyamanannya sendiri diluartanggungjawab birokratnya. Ada yang rutinitasnya sebatas absen pagi, pulang (mengurus yang lain) lalu kembali ke kantor absen sore, atau full dikantor tapi terlibat pekerjaan. Dan jadilah yang seperti ini mendapat predikat dengan pegawai malas atau tidak disiplin seperti para pegawai yang memang malas berkantor dan bekerja karena memang dari sononya.

Ketidakberdayaan beberapa personil di level bawah dan menengah mungkin tidak akan berdampak proses kerja organisasi terhenti. Bahkan sepintas dalam kacamata tertentu masih tetap dinilai berhasil. Hanya saja, kacamata keberhasilan ini baiknya diperhadapkan dengan logika bahwa sekiranya ada daya yang tidak diberdayakan, maka hal itu adalah sebuah kerugian bagi  kinerja organisasi.

 Jika dikaitkan dengan batasan pengertian kinerja organisasi, seperti yang dituturkan Faustino (1995), yaitu: "sebagai suatu cara mengukur kontribusi-kontribusi dari individu-individu anggota organisasi kepada organisasinya". Maka konstribusi yang dimaksud itu bergantung maksimal tidaknya semua sumber daya berperan menjalankan fungsinya. Sehingga pengertian Faustino tersebut diatas mengandung suatu keniscayaan akan pemberdayaan di internal organisasi. Untuk mengatakan di level bawah organisasi tak berdaya, butuh penelusuran. Namun secara sepintas, pegawai berpotensi tidak berkembang oleh karena ciri birokrasi sebagaimana dikemukakan Weberian adalah kekuasaan itu ada pada setiap hierarki jabatan pejabat. Semakin tinggi hierarki jabatan, semakin besar kekuasaannya, dan semakin rendah hierarkinya semakin  tidak berdaya (powerless). Hirarki yang paling bawah adalah masyarakat atau rakyat. Diatasnya adalah pegawai dengan jabatan terendah atau tanpa jabatan.

Satu sentilan terkait hal ini adalah saat rakyat sebagai bagian yang berada di hierarki terendah, tak berdaya, oleh lemahnya misi pemberdayaan birokrasi, lalu bagaimana dengan satu tingkat di atas rakyat yakni anggota dengan jabatan terendah atau tanpa jabatan. Apakah mereka diberdayakan oleh kekuasan? Logis untuk mengatakan pemberdayaan publik akan maksimal jika bersamaan dengan itu, juga ada pemberdayaan di internal birokrasi.

 

SOP UNTUK PEMBANGUNAN BUDAYA BIROKRASI 

Reformasi birokrasi merupakan transformasi manajemen dengan inovasi-inovasi perubahan struktural dan prosedural. Inovasi struktural berhubungan dengan perubahan kelembagaan, sementara inovasi prosedural tentang dengan berbagai perubahan di bidang mekanisme kepemerintahan.   Sejatinya reformasi adalah proses yang berlangsung terus menerus. Sebelumnya, pada masa orde baru, reformasi birokrasi sebenarnya juga telah digulirkan.  Dengan penekanan pada profesionalitas aparatur. Namun akhirnya dinilai gagal.

Kini, arus gerakan reformasi birokrasi di Indonesia semakin deras, mendapat landasan yang kuat melalui PP nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010-2025. Payung hukum dalam rangka  pembaharuan dan perubahan di birokrasi, terutama menyangkut aspek kelembagaan, ketatalaksanaan dan SDM aparatur. Implementasinya dituangkan dalam  roadmap reformasi birokrasi 2010-2014, dilanjutkan dengan road map 2015-2019. Dalam rangka koordinasi, menajamkan dan mengawal pelaksanaannya di bentuk Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional.

Selanjutnya, ada 8 area perubahan yang menjadi sasaran reformasi birokrasi, diantaranya: area tata laksana. Salah satu bentuk nyata perubahan di area ini adalah penerapan standar operasional prosedur (SOP). Selain SOP, reformasi tata laksana juga menyangkut e-government dan keterbukaan informasi publik.

Pedoman penyusunan SOP telah diatur dalam Permenpan-RB nomor 35 tahun 2012. Yang mana untuk mendapatkan SOP yang terintegrasi dalam suatu sistem tata laksana organisasi maka diperlukan pemetaan bisnis proses (peta tata laksana). Penerapan SOP dapat maksimal apabila penyusunan SOP dilakukan dengan baik dan tepat didasari oleh proses bisnis yang baik, serta dilaksanakan penuh komitmen dan dalam pengawasan yang baik pula.Selama ini, prosedur kerja yang seharusnya masih sulit untuk menjadi sebuah  budaya birokrasi. Hal tersebut bisa terjadi, sebab sifat birokrasi adalah hierarki yang sangat memungkikan terwujudnya pola patronase. Selain itu, dalam hal hubungan kerja sulit untuk mengatakan sepenuhnya bersifat impersonal.

Hubungan informal antar unit kerja, antar aparatur tak terelakkan. Ia dapat berupa interaksi sosial dan arus penyampaian informasi. Hubungan informal ini dapat menguntungkan maupun merugikan penyelesaian pekerjaan dalam skala tata laksana tertentu. Secara prinsip hubungan informal menembus sekat-batas birokratis sehingga secara praktis banyak tahap prosedur yang dapat dilewati tanpa kehilangan substansi penyelesaian pekerjaan sehingga produktivitas birokrasi dapat meningkat.

Namun pengembangan tata laksana juga dapat terganggu oleh dinamika hubungan informal ini jika pengendalian tidak efektif dilakukan. Dominannya hubungan informal ini bisa membentuk budaya kerja. Menjadi salah satu penyebab munculnya kelompok kelompok dan adanya pegawai tak terberdayakan.

 Disatu sisi, penatalaksanaan melalui penerapan SOP bisa pula menjadi beban administratif dalam menjalankan tugas. Aparatur menjadi harus merujuk dan tunduk terus-menerus pada SOP dalam pelaksanaan pekerjaan tanpa kejelasan kesempatan diskresi yang bisa dimanfaatkan. Belum lagi jika SOP yang sudah disusun pun dalam praktiknya belum tentu dapat menyesuaikan dengan dinamika organisasi.

Olehnya itu, meski penerapan SOP relatif menutup ruang diskresi, namun dengan berkaca pada perjalanan perkembangan birokrasi selama ini yang tak luput dari penerapan patronase, maka upaya penerapan SOP sebagai pola prosedur yang mengikat, adalah menjadi suatu langkah tepat. Yang jjika terus menerus berlangsung akan mengubah perilaku, mind set. Bahkan dapat menyentuh dimensi perubahan mental yang menjadi basis dasar dari gerakan reformasi di Indonesia. Ketika penerapan standar prosedur telah berlangsung terus menerus, diharapkan penerapan ini dapat menjadi kultur. Tantangannya tentu besar, termasuk di lingkup pemerintah daerah. Begitu banyak instrumen dan pra kondisi yang harus ada atau diadakan. Membutuhkan keterlibatan dan komitmen seluruh jajaran pemerintah. Perlu usaha serius untuk melalui semua tahapan pelaksanaannya. Selain itu harus berjalan masif sebagai sebuah gerakan yang dimotori oleh pimpinan. Penyusunan, penerapan sekaligus pengawasan dan evaluasinya harus berjalan beriringan. (@) 

 

 

 

Read 2458 times Last modified on Jumat, 25 Oktober 2019 09:55
(0 votes)
  1. Popular
  2. Recent
  3. Comments